PERAN PERS SEBAGAI FUNGSI KONTROL SOSIAL
Menurut
Undang-Undang Pers Nomer 40 Tahun 1999. Dinyatakan bahwa pers merupakan
lembaga sosial dan wahana kominukasi massa yang melakasanakan
kegiatan jurnalistik. Sebagai pelaku media informasi, selain memiliki
fungsi pendidikan dan fungsi hiburan, pers juga memiliki fungsi control
sosial. Dalam perannya sebagai fungsi pendidikan, pers memuat
tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan dan wawasannya. Sebagai
fungsi hiburan pers juga memuat hal-hal yang bersifat hiburan untuk
mengimbangi berita-berita barat (hard news ) dan artikel-artikel yang berbobot.
Berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar,
teka-teki silang,pojok, dan kalikatur. Lalu apa peran pers dalam fungsi
control sosial ?
Setidaknya ada empat fungsi pers sebagai control sosial , yang
terkandung makna demokratis, didalamnya terdapat unsure-unsur sebagai
berikut : (1) social participation (keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan), social responsibility (pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat), social support (dukungan rakyat terhadap pemerintah), dan social control (control masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah.
Dalam perannya sebagai control sosial, kondisi pers di Indonesia
memang mengalami pasang surut. Hal ini sangat tergantung pada
kepemimpinan pemerintah. Pada masa Orde baru , misalnya, peran sosial
pers ini hampir-hampir tidak tampak. Hal ini disebabkan pemerintah tidak
mau borok-boroknya diketahui publik. Dalam hal inim pers hanya berperan
sebagai media pendidikan dan media hiburan , atau bahkan harus menjadi
corong pemerintah untuk memberikan hal-hal positif yang telah dilakukan
pemerintah , seperti keberhasilan didalam pembangunan , tetapi tidak
boleh diberitakan kecurangan pemerintah , atau sekandal oknum pejawab
pemerintah. Ketika itu , meski banyak oknum pemerintah yang memiliki
rekening gendut, memiliki harta berlimpah, memiliki kebiasaan buruk,
hampir tidak ada pemberitaannya di media-media cetak kita. Kita tentu
masih ingat, bagaimana seorang wartawan dari Yogyakarta , yang berusaha
mempubikasikan kasus korupsi diwilayahnya, dihabisi dengan cara
mengenaskan.
Pada tahun 1999, memasiki era reformasi , ketika kran pres sebagai
kontrol sosial menjadi terbuka lebar. Bahkan, ketika itu seakan-akan
peran pers sebagai kontrol masyarakat seperti ‘‘ Lepas kontrol ”. Pers
menjadi “ momok ”bagi oknum pejabat pemerintah. Banyak wartawan yang
berkeliaran dikantor-kantor pemerintah.
Bahkan banyak wartawan yang hanya bermodalkan surat kabar yang hanya
dicetak sekali saja. Kita tentu tidak menginginkan salah satu peran pers
saja yang menonjol, tapi kita mengharapkan adanya peran yang seimbang ,
antara fungsi sebagai kontrol sosial yang lebih cenderung memberikan
borok-borok oknum pemerintah atau sebaliknya pers yang hanya berfungsi
mengharumkan nama pemerintah.
Artinya , pemberitaan menggunaan system reward and punishment,
baik dan buruk diberitakan untuk menjaga keseimbangan. Harapannya ,
ketika kebaikan atau prestasi disampaikan , maka banyak orang yang akan
mengikuti jejaknya , sebaliknya ketika sebuah kejahatan diberitakan dan
pelakunya mendapatkan hukuman setimpal sesuai perbuatannya, maka
diharapkan masyarakat atau oknum pejabat publik menjadi takut melakukan
tindakan kejahatan, seperti korupsi, maksiat atau lainnya.
Pada masa reformasi ini , meskipunpers telah memiliki kebebasan
berpartisipasi dalam peran dan fungsinya sebagai “ kontrol sosial ”,
ternyata masih banyak oknum pemerintah atau pejabat Negara yang
terkandung kasus korupsi. Bahkan Negara kita termasuk Negara yang masuk “
lima besar ” Negara yang paling korup. Kalau kita cermati , dimulai
dari anggaran itu disusun oleh Banggar DPR sudah tercium aroma korupsi .
Sudah dapat dipatikan , hal itu akan terus berlanjut ke tahap-tahap
berikutnya.
Para pelaku korupsi telah memahami bahwa pers merupakan bencana bagi
mereka, maka akan lebih berhati-hati di dalam melakukan rekayasa
tindakan korupsi , sehingga mereka akan melakukan transaksi secara lebih
canggih lagi. Oleh karena itu, insane pers pun harus memiliki strategi
yang lebih canggih lagi, sehingga mampu membongkar banyak kasus
kecurangan oknum pejabat publik dalam kapasitasnya sebagai wartawan.
Kebijakan
pemerintah dengan menjalinkan kewenangan dari pusat ke daerah, juga
telah banyak membuat raja-raja kecil didearah yang menjadi lebih “
leluasa” , dan kemudian terjerat kasus korupsi .
Mencengangkan
dari 32 bupati/walikota hampir setengahnya tergantung korupsi. Demikian
halnya, banyak gubernur yang mengakhiri masa purna baktinya dibalik
terali besi.
Kasus
lainnya, didunia pendidikan misalnya, dengan pemindahan urusan keuangan
dari Dinas ke rekening kepala sekolah , juga ada indikasi terjadinya
penyalahgunaan dana di tingkat oknum pejabat sekolah. Dana BOS yang
masuk kesekolah , dapat juga diakalinoleh kepala sekolah yang tidak
amanah , sehingga dana dikelola untuk kepentingan pribadinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar