Kalau disebutkan nama Sampuraga, apa
yang pertama terlintas di pikiran kita? Anak durhaka, bukan? Tapi
Sampuraga dari Sumatera Utara bukanlah satu-satunya anak durhaka dalam
folklore kepunyaan Indonesia. Ada Malin Kundang dari Sumatera Barat yang
jauh lebih terkenal. Juga ada Amat Rhang Mayang dari Aceh yang belum
dikenal publik. Last but not least, masih ada juga Sampuraga dari Kalimantan Tengah. Loh kok Sampuraga lagi?
Sampuraga yang kita kenal adalah si anak
miskin dari Padang Bolak yang merantau ke negeri Mandailing dan
akhirnya menjadi orang kaya, dan saat menyelenggarakan pesta
pernikahannya ia dikutuk sang ibu karena kedurhakaannya. Kolam
Sampuraga, yang menjadi obyek wisata Pemerintah Mandailing Natal
dipercayai sebagai bukti kutukan itu.
Sampuraga versi lainnya dikisahkan
sebagai folktale pada banyak keluarga suku Dayak Tomun di Kabupaten
Lamandau, Kalimantan Tengah. Seperti halnya kisah Sampuraga dari
Sumatera Utara dan cerita Amat Rhang Mayang dari Aceh, suku Dayak Tomun
menganggap cerita Sampuraga sebagai cerita yang benar-benar terjadi di
Kalimantan Tengah. Jika kita lihat dari segi bentuk, struktur cerita,
dan persepsi yang terkandung di dalamnya, kisah Sampuraga dari
Kalimantan Tengah lebih mirip dengan kisah Malin Kundang ketimbang
Sampuraga dari Sumatera Utara.
Malin Kundang dan Sampuraga versi Dayak
Tomun sama-sama menyebutkan tentang kapal dan tokoh utamanya yang
dikutuk ibunya menjadi batu. Kapal Malin Kundang menjadi batu di Pantai
Air Manis, Teluk Bayur di Kota Padang. Demikian pula kapal Sampuraga
yang menjelma bukit berbentuk kapal 2 kilometer dari tepian sungai
Belantikan di desa Karang Besi, Kabupaten Lamandau. Lalu kenapa nama
tokohnya sama dengan tokoh anak durhaka dari Sumatera Utara? Suatu
kebetulan atau telah terjadi salah persepsi saat ceritanya diwariskan?
Lalu siapa penutur aslinya? Bagaimana seharusnya folktale itu
diceritakan?
(Karena cerita Sampuraga versi Dayak
Tomun bercampur aduk dengan Malin Kundang, saya jadi teringat dengan
naskah Puti Bungsu (Wanita Terakhir) karya Wisran Hadi. Beliau
menggabungkan tiga mitos dalam narasi berbeda: Malin Kundang, Malin
Deman dan Sangkuriang dalam satu ruang teks cerita baru: Puti Bungsu.
Jangan-jangan Wisran sendiri yang meramu cerita Sampuraga tersebut?
Hehehe…)
Cerita rakyat
adalah salah satu bagian dari folklore. Pada umumnya, cerita rakyat
hanya berbentuk cerita lisan yang diceritakan secara turun temurun.
Indonesia- yang terdiri dari berbagai suku bangsa - sangat kaya dengan
cerita rakyat, peribahasa, pantun, mitologi, legenda, mau pun dongeng.
Cerita-cerita tersebut hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya
masing-masing. Dilihat dari beragam cerita rakyat yang tersebar di
berbagai daerah, tampak adanya kesamaan bentuk penceritaan antara cerita
rakyat daerah yang satu dengan daerah lain. Perbedaannya hanya terletak
pada versi dan warna lokal daerah masing-masing.
Saat menulis cerita Sampuraga di
Wikipedia saya merasa sedang memainkan genealogi dengan obyeknya tokoh
utama dalam folktale tersebut. Sayang sekali saya hanya mengandalkan
sisa-sia ingatan seorang staf saya di Lamandau sebagai narasumbernya.
Kalau ada di antara pembaca yang lebih mengetahui cerita sebenarnya,
dipersilahkan ikut menyuntingnya. Wikipedia milik kita bersama kok.
Kisah Sampuraga
Konon,
menurut cerita yang diwariskan turun temurun dalam keluarga suku Dayak
Tomun, seorang bangsawan dari sebuah kerajaan di Sumatera berlayar
sampai ke kerajaan Petarikan, di hulu sungai Belantikan, pedalaman
Kalimantan. Namanya Patih Sebatang. Tidak jelas apakah Patih Sebatang
ini sama dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang, tokoh legendaris masyarakat
Minangkabau.
Di
kerajaan yang bersahaja ini, Patih Sebatang dikisahkan berjumpa dengan
seorang putri Kerajaan Petarikan yang cantik jelita. Namanya Dayang
Ilung, yang digambarkan memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona,
kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan
purnama, bibirnya merah bagai delima, alis matanyanya bagai semut
beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Singkat
cerita Patih Sebatang jatuh cinta dan akhirnya menikahi sang putri.
Tidak
lama kemudian, Dayang Ilung melahirkan seorang putra, yang dinamai
Cenaka Burai. Entah bagaimana kisahnya Patih Sebatang akhirnya berpisah
dengan isteri tercintanya. Selain buah cintanya yaitu Cenaka Burai,
satu-satunya kenang-kenangan yang mempersatukan cinta mereka adalah
cincin pernikahan yang selalu disimpan baik oleh Patih Sebatang.
Sampuraga
dibesarkan ayahnya sebagai seorang pemuda yang berharkat dan
bermartabat tinggi. Dan entah bagaimana asal-usulnya, Cenaka Burai juga
kelak dipanggil sebagai Sampuraga. Kemudian ketika sudah dewasa
Sampuraga diceritakan ayahnya bahwa ibunya ada di sebuah kerajaan nun
jauh di hulu sungai Belantikan. Sampuraga berkeras ingin menjumpai ibu
kandungnya tersebut, dan meminta apa ciri-ciri ibunya. Sang ayah pun
menceritakan kecantikan ibu kandung Sampuraga, dan menunjukkan sebuah
cincin pernikahan mereka.
Dibekali
dengan cincin pernikahan ayahnya, Sampuraga pergi berlayar sampai ke
kerajaan Petarikan. Sesampainya disana, masyarakat membawanya menemui
sang ibu yang sudah tua. Dayang Ilung ternyata telah bertahun-tahun
menantikan kembalinya anak kandungnya. Bukan main senangnya Dayang Ilung
mengetahui buah hatinya menjumpainya langsung. Hampir saja ia memeluk
Sampuraga, tapi Sampuraga menolak. Sampuraga tidak percaya bahwa wanita
asing di depannya tersebut adalah ibunya sendiri. Ayahnya telah
menceritakan kecantikan sang ibu. Bagaimana mungkin wanita yang tua
renta tersebut adalah puteri cantik yang diceritakan sang ayah?
Sampuraga
masih ingin membuktikan lagi. Dikenakannya cincin pernikahan ayahnya
kepada wanita tua itu. Karena Dayang Ilung sudah dimakan usia, cincin
tersebut menjadi terlalu besar untuk melingkari jari-jarinya. Sampuraga
semakin yakin bahwa wanita itu bukan ibunya. Sampuraga memutuskan untuk
pulang.
Dayang
Ilung kecewa. Ia berkata kepada Sampuraga, “Nak, kamu sudah meminum
susu dari tubuhku. Kalau kamu tidak mau mengakuinya, kamu akan terkena
malapetaka!”
Dengan
amarah di dalam dada, Sampuraga berlayar pulang. Dia tidak habis pikir,
kenapa ada wanita tua yang bersikeras meyakinkan Sampuraga bahwa dia
adalah ibunya, padahal ayahnya sudah jelas memberitahu ciri-ciri sang
ibu.
Di
tengah jalan, tiba-tiba badai menghadang. Kapalnya oleng
diombang-ambingkan ombak besar. Ketika kapalnya hampir karam, Sampuraga
teringat kutukan wanita tua tersebut. Hati kecilnya tiba-tiba disadarkan
bahwa dia baru saja durhaka pada ibunya sendiri.
“Ibu, ibu, kamu memang ibuku!” demikian Sampuraga memohon ampun.
Tiba-tiba terdengar suara ibunya, “Nak, sudah jatuh telampai. Tidak mungkin keputusan ditarik kembali. Kutukan sudah terjadi.”
Demikianlah Sampuraga membatu bersama kapalnnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar